A. PENDAHULUAN
Kapan masuknya agama Islam di Kepulauan Kai, siapa saja Para Ulama yang mula-mula mensyiarkan (menyebarkan) agama Islam, dan di mana tempat mula-mula para Ulama singgah serta bagaimana awal perkembangan Islam? masih merupakan pertanyaan semua orang pemerhati sejarah Islam dan membutuhkan jawaban pasti. Kita butuh sumber data pendukung yang valid serta obyektif, akurat, memiliki bukti-bukti sejarah yang kuat serta ajeg, tidak parsial, diperoleh melalui prosedur kerja ilmiah yang dituntut dalam suatu penelitian yang sifatnya akademis. Sehingga akan diperoleh hasil penelitian sejarah Islam yang baik dan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena hasil penelitian yang baik adalah petunjuk utama penyelesaian masalah sejarah Islam di Kepulauan Kai (Iskandar:2008).
Sumber iformasi yang dibutuhkan berupa hasil penelitian sejarah Islam di Kepualauan Kai sebagai sumber rujukan dan sumber belajar ummat Islam. Karena dengan mempelajari dan mengetahui sejarah dan perjuangan Islam masa lalu kita dapat menata kehidupan kini dan masa datang berlandaskan nilai-nilai historis (historical value) yang tertuang dalam suatu tulisan sejarah Islam.
Munculnya suatu tulisan sejarah Islam di Kai merupakan secercah harapan untuk turut mengisi bingkai lukisan dunia Islam yang maha luas dan abadi, karena tulisan yang nanti Insya Allah terwujud merupakan secuil pengetahuan berharga di antara buku-buku sirah, tarikh, ghazwah, hingga thabaqot yang hampir tak terhitung jumlahnya. Meskipun oleh sebagian kalangan atau orang lain dari tahun ke tahun sekian banyak tulisan-tulisan tentang sejarah Islam sudah banyak bertebaran di mana-mana.
Sehingga kesempatan seperti ini, apapun dan bagaimanapun rona/warna tulisan yang akan dihasilkan, siapapun nara sumbernya dan dari mana asalnya serta bagaimanapun latar belakangnya, harus membuktikan bahwa para leluhur/tetua, ataupun Ulama-ulama Islam Kei terdahulu telah menabur permata-permata bernilai suci-cemerlang (dymond velue) tidak terhingga yang tak pernah lekang, pribadi-pribadi beliau tak pernah kering dan aus, menjadi buah bibir dan sorotan pena serta mata hati orang-orang bijak dari dahulu, kini hingga entah kapan, sampai hari kiamat, Wallahu a’lam Bishowab.(Al-Mubarakfury, S.S.:2007).
Keberadaan Agama Islam di Kepulauan Kai bersamaan dengan kedatangan para leluhur orang Kai di wilayah ini. Ada berbagai versi sejarah yang selama ini berkembang dalam masyarakat muslim Kei, namun semua itu merupakan wahana kekayaan lokal sangat bernilai sebagai modal dasar untuk membantu pemerhati sejarah Islam Kai dalam mewujudkan cita-cita luhur terciptanya suatu penulisan sejarah Islam yang bermutu tinggi.
Masuknya Agama Islam di Kepulauan Kai sangat erat kaitannya dengan datangnya gelombang dan irama perpindahan penduduk ke daerah tersebut. Pada awalnya perpindahan penduduk dari Luang Mabes, Tidore, Ternate, Seram dan Banda Naira, mereka semua telah memeluk agama Islam, namun karena kurang adanya pembinaan keagamaan, serta terkuras oleh waktu dan kondisi sehingga beberapa tempat kehilangan syariat Islam bahkan musnah, dan kembali menyatu dengan keadaan lingkungan yang ateis/anemis namun ada yang tetap mengembangkan syiar Islam.
Penulisan sejarah Islam Kei seperti halnya penelitian sosial lain, maka mengikuti prosedur penelitian kualitatif induktif, sehingga dalam kegiatan ini akan mencoba mengembangkan teori model induksi (Blank Theory and Data Focus), dengan desain kualitatif–verikatif, yaitu data sejarah sebelumnya cukup membantu peneliti untuk memahami data yang akan diteliti. Teori yang ada membantu peneliti membuka misteri data sebenarnya yang tidak diketahui peneliti, namun focus peneliti hanya tertuju pada data sejarah yang ada karena pemahaman terhadap data adalah kunci jawaban terhadap masalah penelitian. Lihat Gambar skema pada Lampiran (Burhan Bungin:2010:25).
Metode dan teknik yang digunakan dalam kegiatan penulisan sejarah Islam Kei ini adalah, Focus Group Discussion (FGD) yaitu teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang penulis/peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti. Disamping Metode FGD, digunakan pula langkah-langkah analisis structural Levi-Strauss dalam membantu menganalisis data sejarah yang ada. Teknis penerapan lihat pada Lampiran (Burhan Bungin:2010:223).
B. PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI KEPULAUN KAI
1. BANDA ELI DAN BANDA ELAT
Masyarakat Banda Eli dan Banda Elat adalah penduduk Kai yang berasal dari Banda Naira, mereka meninggalkan Banda Naira karena pertikaian antara masyarakat Banda Naira dengan VOC di bawah pimpinan Yan Piterszoon Coen pada taun 1621. Saat inipun masyarakat tersebut masih tetap mempertahankan Agama Islam, Budaya ( Adat Istiadat ) dan Bahasa Banda Naira. Mereka ini yang memperkuat dan menjadi penerus adat dan budaya Banda Naira (Des Alwi: 2004:11).
2. PULAU KUR
Pulau Kur dengan 11 Desanya mulai dari masuknya penduduk yang beragama Islam sampai sekarang masih ietap mempertahan kan Agama Islam, Adat Istiadat dan Bahasa. Raja pertama Kur adalah seorang keturunan Arab yang bernama Muhammad dan nama Kerajaannya adalah Makara.
3. KEPULAUAN TAYANDO (DESA OHOITON)
Masuknya Agama Islarn di Tayando untuk pertama kali dibawa oleh Marungun Banyal pada tahun 1550 dari Langgiar Fer setelah itu di susul oleh tiga orang mubaligh yaitu Tawakaluddin, Tafakadin dan Safakadin dari Banda Naira melalui Kur ke Desa Langgiar Fer baru kemudian kembali ke Tayando. (Mahmud, M. 2001).
4. DESA DULLAH
Agama Islam untuk pertama kali di bawa oleh Sultan Tahiruddin dari Kesultanan Jailolo Maluku Utara pada tahun 1591 ke Desa Dullah. Namun putusnya hubungan da'wah telah menimbulkan hilangnya syariat Islam di sana dan akhirnya mereka kembali menyatu dengan kepercayaan leluhurnya.
Pada masa pemerintahan Raja Daung Val beliau mengadakan hubungan dengan Kerajaan Langgiar Fer lalu beliau menyatakan masuk Islam dan kemudian kembali ke Desa Dullah untuk dimandikan bersama masyarakatnya secara Islam. (Mahmud, M. 2001).
5. DESA LANGGIAR FER
a) Permulaan Masuknya Islam
Menurut Matdoan M. (2001), sampai saat ini sejarah masuknya agama Islam di Desa Langgiar Fer masih tetap merupakan penuturan lisan yang dituturkan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikut tanpa didukung dengan data otentik. Sehingga perlu diadakan penelitian terus menerus serta mempelajari literatur dan peninggalan sejarah untuk mendapatkan hasil sejarah Islam yang bermanfaat.
Jalur masuknya Agama Islam di desa Langgiar Fer melalui Aceh, Banda, Kur dan Tayando, namun Kur dan Tayando hanya merupakan tempat persinggahan saja. Pembawanya adalah Datuk Abdullah bin Abdul Muthholib bin Abu Bakar bin Hasyim dari Magribi (Maroko).
Menurut Ahmad Fakaubun bahwa ayah Datuk Abdullah bernama Abdul Mutholib, lahir Banda Naira sedangkan Neneknya adalah tawanan Portugis dalam peperangan dengan Sultan Johar pada tahun 1511 yang pada waktu itu di buang ke Banda Naira.
Kedua pendapat tersebut setelah di teliti ada suatu kejanggalan yang sangat mencolok yaitu: cerita perjalanan mereka ditemukan bahwa Datuk Abdullah lahir di Banda Naira dan cucunya yang bernama Sarkol kawin dengan anak perempuan dari Raja Sawe di Kilmas Kur. Dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang putera yang bernama Farne Vul, setelah dewasa ia pindah ke Desa Dullah lalu kawin dan memperoleh dua orang putera yaitu Arba Huren pindah ke Desa Larat kemudian kawin dengan Sikremin dan Mel Ren pindah ke Desa Taar.
Dari hasil penemuan di atas maka dapatlah dipastikan babwa yang datang ke Desa Langgiar Fer adalah keturunan Datuk Abbdullah yang bernama Arba Huren dan diperkirakan tiba di Tenan Savav pada tahun 1661.
Hubungan antara Kepulauan Kai dengan Pulau-pulau Banda Naira sudah berlangsung sebelum datangnya VOC di Banda Naira. Terjadinya pertikaian antara VOC dengan rakyat Banda Naira pada tahun 1602 menyebabkan sebahagian dari pemuka-pemuka Agama berangkat meninggalkan Banda Naira menuju Kepulauan Kai, untuk pertama kalinya mereka tiba di Desa Ngilngof.
Beberapa waktu kemudian keluarga Seknun, Rumkel dan Rumaf dibawah pimpinan Datuk Abdullah Seknun pada tahun 1605 yang merupakan turunan Datuk Maulana pindah menetap di Desa Fer bersama anaknya yang tertua bernama Muhammad Ali Fatha yang kemudian diangkat menjadi Imam pertama di Desa Fer, Beliau meninggal pada tahun 1617 M/1026 H, makam di Fer-Langgiar.
Keluarga Rumaf menjadi Imam di Desa Mastur dan keluarga Rumkel beserta sebagian keluarga Rumaf berangkat ke Tayando, setelah mereka tiba di Tayando diangkat menjadi Imam. Keluarga Rumkel diangkat menjadi Imam di Desa Meo Langgiar, pengangkatan Imam tersebut. ditandai dengan 1 kati emas sehingga marga Rumkel berubah nama menjadi Katmas.(Mahmud.M. 2003).
Tamaslu Seknun anak dari Datuk Abdullah diangkat menjadi Imam di Ohuikurun (Desa Langgiar Fer sekarang) dan dari sinilah Agama Islam mulai berkembang dan melembaga di Desa Langgiar Fer yang kemudian berkembang menjadi pusat pengembangan Agama Islam di kepulauan Kai pada akhir abad ke 18 (1704 M/1124 H) dimasa pemerintahan Bal Tub Vuar (Muhammmad Baluddin Matdoan). Beliau mengajarkan ilmu akidah dan ilmu tasawuf kepada masyarakat sehingga beliau terkenal sangat alim.
Riwayat lain mengisahkan bahwa, agama Islam di Desa Langgiar-Fer untuk pertama kali dibawa oleh Muhammad Muqis (Ubtim Matdoan) pada abad 11 atau 12 Masehi, anak dari Sultan Muhammad Isa dari Kota Basra yang dikenal di daerah Luang Maubessy beliau diperkirakan tiba di sana pada tahun 1136 (wilayah ter Selatan Maluku, sekarang menjadi Kabupaten Maluku Barat Daya) dengan sebutan Raja Melayu karena beliau datang ke Pulau Luang melalui Kerajaan Melayu, dan agama Islam berkembang pesat di Kepulauan Kai pada generasi ketujuh yaitu saat berkuasa Larat Matdoan (1536). Suntuk ini dapat ditelusuri riwayat sejarah beberapa Kerajaan Islam di Kepulauan Kei, Aru, Irian dan Pulau Ambon (Leihitu—Seit, Negeri Lima dll.).
6. DESA MATWEAR
Menurut sejarah yang diakui masyarakat bahwa Raja Kerajaan Matwear yang pertama bernama Hasan Maqbir Bidian berasal dari Kesultanan Adonara dan pusat kerajaannya adalah Desa Matwear sekarang. Raja Hasan Maqbir tidak mempunyai anak laki- laki untuk menggantikan tahta kerajaan sehingga tahta kerajaan dijabat kembali oleh Un El Renfan. Dilihat dari silsilah perkawinan Raja Hasan Maqbir dengan Dit Nangan anak dari Tebtut Ohoi Vuur diperkirakan beliau datang ke desa Matwear pada akhir abad ke 17 Masehi. Kehidupan beragama masyarakat sepeninggal Raja Hasan Maqbir adalah bahwa sebagian rakyat Matwear masih menganut Agama Islam, sebagian lagi beralih memeluk Agama Kristen Protestan (Mahmudd)
C. SELAYANG PANDANG SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DAN PERKEMBANGAN QURRA WAL HUFFAZ AL-QUR'ANUL KARIM DI LANGGIAR-FER
Para orang tua, leluhur masayarakat Kei khusus di Desa Langgiar Fer, Ngafan, Sungai-Hoat mengharapkan anak cucu mereka kiranya menjadi generasi yang dapat mengenal membaca dan memahami Al-Qur'an secara baik dan benar, sesuai dengan kehendak agama Islam. Harapan dan keinginan ini tidak mudah untuk diraih begitu saja, karena di hadapan mereka ada hambatan dan tantangan yang cukup berat.
Secara geografis, sosial ekonomi serta budaya, tidak mendukung- karena wilayah kepulauan Kei terletak diujung timur Kepulauan Indonesia. Pada saat itu (abad ke 16) masih terisolasi dengan segala kemajuan dan perkembangan, tertutup untuk semua informasi, masalah teknologi serta komunikasi. Masyarakat masih mengandalkan hidup secara tradisional, berkebun, bertani, ke laut menangkap ikan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Hidup di wilayah terpencil dan tertutup untuk semua informasi dan perkembangan dari luar, tidak membuat pupus semangat juang dan cinta mereka terhadap Allah, Rasul serta Islam. Dengan tantangan hidup yang berat, mereka berusaha dengan semangat yang tinggi untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan mengaji Al-Qur'an.
Perjalanan para ulama Kei ke Haramain melalui rute yang sangat panjang dan memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-bertahun. Dari Kei menggunakan perahu layar melalui Sulawesi, Jawa, terus ke Singapura dan Malaysia kemudian dengan kapal laut menuju tanah suci Mekkah. Ada beberapa orang yang tidak kembali ke Kei, karena wafat di Mekkah--Madina--Saudi Arabia, bahkan dalam perjalanan.
Beberapa generasi sudah pulang pergi ke Mekkah menjelang abad 17, disamping belajar ngaji dan tafsir Al-Qur'an ada yang mendalami disiplin ilmu tasauf, figih dan ilmu kalam, serta disiplin ilmu agama lainnya. Mereka bermukim selama bertahun-tahun di Mekkah untuk belajar dan mengaji Qur'an dan mendalami Islam.
Mereka kembali ke Kei dengan meguasai Al-Qur’an dan ilmu agama dalam bidang masing-masing, kemudian mengajarkan ilmu kepada masyarakat muslim di sana. Semangat kehidupan yang mereka bina pada saat itu sangat bernuansa keislaman khusus di seluruh wilayah Kepulauan Kei (Maluku Tenggara), bahkan hampir seluruh wilayah Maluku (Seram Bagian Timur) dan Irian Barat (terutama daerah Fak-Fak, Kaimana dan sekitarnya). Keimanan masyarakat Kei terhadap Islam terjadi bersamaan dengan penyebaran Islam di wilayah lain Indonesia/Melayu (pada pertengaban abad 15 awal abad 16).(Republika, 25 Juli 2003).
Menjelang akhir abad 18 telah terjadi kebangkitan para ulama di Maluku. Bukan hanya ditandai dengan berkembangnya tradisi pengetahuan Islam tetapi juga penyebaran gerakan pembaruan Islam di wilayah Maluku dan Irian Jaya. Menurut hikayat para ulama Kei memiliki hubungan leluhur dari, Johor, Malaysia, dan Bugis Makassar. Mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan para ulama pensyiar Islam dari Timur Tengah.
Versi yang jelas serta data autentik mengenai asal-usul para ulama Kei belum ada referensi pendukung, hanya berdasarkan penuturan lisan turun temurun. Hal ini menuntut kajian historis serta penelusuran sejarah sehingga ada kepastian data yang digunakan sebagi referensi dalam membahas sejarah penyebaran Islam di wilayah Kei Maluku Tenggara.
Menurut data yang diperoleh dan sepanjang catatan terkumpul, dinyatakan babwa Islam pertama kali di Kepulauan Kei yaitu di Desa Langgiar pada tahun 1511 M, dibawa oleh seorang ulama keturunan Sayid dari daerah Hadhramut (setelah pecahnya daulah Fatimiyah). Nama beliau adalah Sayid Abdullah, datang melalui wilayah Gujarat, Johor dan masuk ke Langgiar pada saat Portugis merebut Malaka dalam menjalankan politik penjajahan, kemudian menyusul datuk Maulana ke Tayando Kei Kecil (lihat Silsilah terlampir). Selain bukti sejarah para leluhur yang berasal dari Luang Maubesy (Pulau-pulau Terselatan), jauh-jauh hari atau berabad-abad lamanya mereka sudah mendiami Kepulauan Kei dugaan yang memperkuat pemahaman bahwa, dari generasi ke generasi para leluhur dari Luang tidak ada riwayat bahwa siapa yang meng-Islamkan mereka.
Pada abad 16 atas prakarsa kepemimpinan dan kesepakatan adat (Mel Yam Fak) empat leluhur atau pemuka masyarakat Langgiar Fadir, Fako, Wadufin dan Larat Matdoan menyepakati suatu ikrar atau stateman suci atas dasar syariat Islam, dengan upacara sakral di Desa Langgiar Fer, dengan memberi nama (Wama Sirken), Wama = tempat; Sir = rahasia; Ken = Kebenaran, artinya tempat rahasia kebenaran.
Kemudian syariat Islam dapat menyebar ke seluruh Kepulauan Kei dan sekitarnya, disusul pula dengan datangnya para ulama seperti; 1) Abdurrahman Bilawa dari Bone pada tahun 1786; 2) Sayid Ahmad bin Muhammad Al Idrus dari Timur Tengah, singgah di Cirebon, pada tahun 1809, meninggal dan makam di Desa Nagafan, 3) Datuk Abdurrabbi dari Johor Malaysia--Minangkabau pada tahun 1611, nikah di Langgiar Fer dan beranak pinak, setelah itu kembali ke Minangkabau, 4) Sayid Abdurrahman Assyatri pada tahun 1813, mukim di Langgiar dan punya anak cucu sampai saat ini, makam di Langgiar 4) Sayid Muhammad Zawawi, pada abad 18, nikah dan punya anak cucu, wafat dan makam di Desa Ler Ohoilim 5) H. Sirajuddin Karaeng Magangka dari Sulawesi Selatan pada paruh kedua abad 18, nikah punya anak cucu; wafat dan makam di Makassar.
Generasi pertama yang pergi ke tanah Haramain adalah Haji Muhammad Arif Fakaubun pada tahun 1816, ini adalah misi pertama untuk mempelajari dan menghafal Al Qur'an di Mekkah (lihat Tabel pada Lampiran 1).
Terjalin keakraban lahir batin dan silaturrahmi antara guru dan murid (di Mekkah dan Langgiar) sehingga saling kunjung mengunjung. Mereka tetap menjalin komunikasi dan silaturrahmi dengan Tuan-Tuan Guru (Syeikh) mereka di Mekkah. Hingga pada suatu saat datang berkunjung ke desa Langgiar dua ulama besar dari Mekkah pada tahun 1865, yaitu Al Mukarrom Hadratus Syekh Al Haji Hamzah Sombul (penguasa Masjidil Haram Mekkah dan Al Mukarrom Hadratus Syeik Al Haji Habib Muhammad bin Abdul Mu'ti Mirdadi (Hatib dan Imam Besar Masjidil Haram Mekkah).
Dengan rasa haru bertambah suka cita yang dalam menyambut kedua tamu yang mulia ada keinginan lagi untuk terus menyambung tali silaturrahmi dan komunikasi yang selama ini sudah terjalin baik, hingga suatu saat dalam satu pertemuan dengan para tamu guru besar mereka timbul pertanyan menarik. Bagaimana kami dapat mengaji Al-Qur'an seperti orang-orang Mekkah?
Sehingga pada usia sembilan tahun Abdul Karim Rahannyaan kecil dari desa Ngafan Kei Besar berangkat ke Mekkah untuk belajar mengaji Al-Qur'an pada tahun 1830 selama kurang lebib 35 tahun beliau bermukim dan belajar nagji Al-Qura'an sampai mencapai usia 44 tahun di Mekkah.
Turan Ngur Leb Lor (julukan masyarakat muslim Kei kepada tuan guru Haji Abdul Karim Rahannyaan). Beliau kembali ke kampung halaman (Langgiar Fer) pada tahun 1874 dan mengajarkan serta menghafal Al-Qur'an atau yang lazim di sebut Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim selama kurang lebih 10 tahun.
Beliau adalah generasi ketiga yang meletakkan sejarah bagi generasi-generasi berikutnya mengenai Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim di Kepulaun Kei. Setelah termotifasi dengan semangat beliau yang berhasil mengaji dan menghafal Al Qur'an sebagaimana masyarakat Mekkah sehingga orang kampung ingin seperti beliau. Keinginan mereka agar dapat mengikuti jejak beliau untuk mengaji dan menghafal Al-Qur'an di tempat asal turunnya Al Qur'anul Karim yaitu Kota Mekkah tempat lahirnya Nabi Muhammad Saw, dan Alhamdulillah niat suci itu terwujud di tempat yang diberkahi Mekkah) di antaranya Tuan Guru Al-Mukarrom Haji Muhammad Said Rahannyamtel, Al-Haji Abbas Rahannyaan, Al-Haji Muhammad Yahya Matdoan, dengan bermodalkan niat suci walaupun penuh derita, sebelum perang dunia pertama (pada tahun 1901) ke Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji--rukun Islam kelima.
Sebelum itu Al-Haji Muhammad Syekh Fakaubun beliau mendalami ilmu hukum Islam, dan Al-Haji Baharuddin Matdoan tahun 1775, mukim di Mekkah selama puluhan tahun (kurang lebih 16 tahun) mendalami ilmu tasauf, yang kemudian menyusul pula Al-Haji Muhammad Zein Matdoan pakar tasauf, mengikuti jejak beliau sekitar akhir abad 17—18, mukim di Mekkah 5 tahun.
Selama kurang lebih 15 tahun menekuni Al-Qur'an maka pada tahun 1916 mereka kembali ke kampung halaman (Langgiar Fer) Insya Allah dengan menyandang haji mabrur artinya haji dan amalan mereka mendapat ridho Allah. Setiba mereka di kampung halaman dengan semangat pengamalan Al-Qur'an sehingga mereka mendapat gelar dari masyarakat Islam Kei saat itu dengan gelar Yaman Teen dan Leeb Lor karena menjadi imam besar di masjid-masjid serta Turan ngur atau guru ngaji, mereka ini termasuk kelompok generasi ke lima (pada tahun 1905--1920). Periode ini hubungan baik para leluhur dengan ulama di Mekkah-Madina terjalin erat dan sangat baik, karena masih ada kunjung-mengunjung antara guru dan murid. Bukti kedatangan Tuan Sayid/Habib Abdul Hamid bin Muhammad bin Abdul Muthi Al Mirdadi ke Langgiar Fer (Kei) tahun 1902, (lihat Foto Dokumentasi pada Lampiran).
Pada era generasi ini pembinaan Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim semakin berkembang baik karena selain desa Langgiar Fer, Sungai--Ngafan bertambah lagi desa baru yaitu Larat. Para siswa bertambah banyak dan dapat dilokalisir berdasarkan wilayah pemukiman. Para ulama inilah yang mendorong didirikan lembaga-lembaga pendidikan tradisonal seperti yang dikenal di wilayah lain di Indonesia/Melayu sebagai pondok pesantren. Dengan sarana tempat belajar seadanya para guru/turan ngur leb dengan kesederhanaan mereka, tabah dan tekun mengajar ngaji mulai dari mengenal huruf hingga lancar membaca Al-Qur'an, kemudian mengajarkan tentang makhraj dan tajwid sampai khatam dan hafal, semuanya dilakukan dengan rasa ikhlas karena Allah Ta'ala.
Termotivasi dengan sikap mereka maka masyarakat Kei pencinta Al-Qur'an tertarik untuk belajar pada Turan ngur/Leb lor di Kei dan tidak harus datang ke Mekkah untuk belajar ngaji dan menghafal Al-Qur'an di sana. Bila kemampuan membaca dan menghafal Al-Qur'an sudah baik, kemudian berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji rukun Islam yang kelima,
Pada awal kemerdekaan datang pula para ulama/ustaz dari Ambon ke Langgiar Fer, Sungai--Nagafan, di antaranya adalah Al Mukarrom H. Sayid Abubakar Alidrus, ahli bahasa Arab, nahu syaraf, dan tasauf (terakhir sebagai Kakanwil Departemen Agama Propinsi Maluku di Ambon tahun 1970an), dan Almukarrom KH. Djafar Awad Alkatiri (ahli bahasa Arab, tafsir, terakhir sebagai Penasehat DPW NU Wilayah Maluku dan DPP, anggota DPRD Propinsi Maluku tahun 1980an) mereka mukim di Kei sejak tahun lima puluhan sampai dengan akhir tahun enam puluhan. Setelah itu mereka pulang--pergi Ambon dan Kei. Para ulama ini sudah mengembangkan pembelajaran secara klasikal, dan pendidikan madrasah yang diberikan nama musthonmallimin (mencetak kader-kader ulama yang sudah moderat).
Perkembangan pencerahan Islam semakin semarak hampir di seluruh Maluku. Kader-kader yang dihasilkan pada masa ualama-ulama ini antara lain ; 1) Al-ustaz H. Muhammad Muzni Matdoan, beliau imam masjid Kiom Tual, guru ngaji, sampai akhir hayat sebagai penasehat senior DPD PPP Kabupaten Maluku Tenggara. 2) Al-ustaz H. Usman Rahannyaan, guru ngaji, imam masjid dan guru madrasah, 3) Ustaz H. Muhammad Asnawi Seknun, guru ngaji, imam masjid Kehutanan Tual dan Fer. 4). H. Munawir Matdoan, guru ngaji, guru tasauf, 5) Ustaz H. Abdul Wahid Rahawarin S.H. guru tasauf, terakhir sebagai Ketua DPRD Kota Madya Ambon periode 1989--1997), 6) Al-ustaz Ahmad Difinubun, guru tasauf, Kepala Desa Hoat/Sungai. 7).H. Abubakar Matdoan, guru ngaji, guru tasauf, 8) Abidin Difinubun, guru ngaji dll. 9). Sayid Abubakar Al-Atthas wafat tahun 1998 di Hitu.
Bersamaan dengan itu muncul pula para pejuang Islam lebih moderat seperti; 1) H. Sayid Ramli Zawawi, pensiunan pegawai Departemen Penerangan RI, tokoh Masyumi tahun 1950an, terakhir anggota DPRD Propinsi Maluku dari fraksi PPP, wafat, tahun 2001 di Ambon, wafat di Ambon tahun 2000 2) H. Abdul Mu'thi Fakaubun, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten Maluku Tenggara, tokoh Masyumi tahun 1950an dan wafat tahun 2009 di Tual 3). H. Ahmad Fakaubun, pensiunan pegawai Departeman Agama Propinsi Maluku, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten Maluku Tenggara, 4) Usman Matdoan, pensiunan pegawai Departemen Penerangan Propinsi Maluku, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten Maluku Tenggara, salah satu tokoh kunci dalam pembebasan wilayah Maluku Tenggara dari cengkerman colonial Belanda dan para musuh NKRI pada awal kemerdekaan RI.
Perjuangan syiar mereka sudah disalurkan melalui birokrasi dan pemerintahan, bentuk dakwah mereka adalah bil- hal.
Sampai saat ini kader-kader ulama Kei belum dapat di data semua secara lengkap, karena anak cucu leluhur Kei banyak bertebaran di seluruh wilayah Indonesia. Dapat disebutkan sebagai contoh beberapa cendekiawan muda muslim, anak cucu dan penerus cita-cita luhur para Ulama leluhur Langgiar Fer, Kei Maluku Tenggara, seperti; 1) Ir. H. Sayid Sayuti Asyatri, pakar tasauf, pemikir dan perencana pembangunan, mantan wakil sekertaris Presiden periode Presiden Abdurrahman Wahid, mantan penasehat senior DPP PAN dan Anggota DPR RI, Wakil Ketua Fraksi bidang Otonomi Daerah periode 2004—2008. Sekarang Presiden/Ketua Umum Partai Demokrasi Kebangsaan.
Ustaz Sayuti Rahawarin mantan anggota DPR RI, aktifis da'wah, mantan Sekjen Partai Islam Indonesia Masyumi, 3) Ustaz Ahmad Barji Matdoan. guru ngaji, aktifis da wah, mantan/pendiri Pemuda Pelaksana Da’wah Islamiah Maluku Tahun 1970an- sampai sekarang, 4) Drs. H. Hanafi Renhoran, M.M., pensiunan pegawai Departemen Agama Pusat, aktivis da'wah 5) Drs. H. Abbas Rahannyamtel, rnantan Kakandep Agama Kabupaten Maluku Tenggara, Kabid Urusan Haji Depag Propinsi Maluku. 6) Drs. H. Muhammaddin Rahannyamtel, Pensiunan Kepala Sekolah MAN di Jakarta, aktifis da'wah, 7) Drs. Hasan Rahakbau, aktifis da'wah, pensiunan guru MAN di Jakarta, 8) Ustaz Muhammad Qosim Matdoan, hafiz, guru ngaji dan guru agama di Jakarta, aktifis da'wah, 9) Ustaz Muhammad Rahanyamtel, S.Ag, M.Pdi. hafiz, dosen IAIN Ambon, guru ngaji, da’i, dan masih banyak yang perlu diadakan pendataan dan penelitian agar dapat diungkapkan dalam bentuk tulisan dan referensi untuk kepentingan da'wah dan pemerhati sejarah pergerakan Islam di Nusantara.
Selengkapnya perkembangan syiar Islam dan Qurra wal Huffaz Al-Qur anul Karim di Kepulauan Kei dari generasi ke genarasi dapat dilihat pada Tabel (Lampiran 1).
Generasi kesepuluh mengalami pasang surut sangat drastis dan kemunduran yang pesat, ini disebabkan karena kendala yang dihadapi dari generasi ke generasi, seperti kurangnya perhatian pemerintah, keterbatasan fasilitas pembelajaran, rendahnya kesejahteran tuan-tuan guru, juga karena terjadi konflik sara (tahun 1999), sehingga membawa korban jiwa, harta benda, dan kerugian moral dan material sangat banyak..
Saat ini kondisi Qurra-Walhuffaz masih berjalan secara konvensional, belum ditata dengan manajemen yang baik, sehingga diharapkan perhatian semua kalangan ummat Islam untuk membangun dan membangkitkan kembali semangat ummat dalam mempelajari dan menghayati serta mengamalkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dunia wal-akhirah.
D. SEKILAS PERAN ULAMA DAN PERGERAKAN ISLAM AWAL KEMERDEKAAN DI KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA
Ketika terjadi kekosongan kekuasaan pemerintahan di Indonesia pada akhir perang dunia II, oleh Bangsa Indonesia dianggap sebagai suatu rakhmat yang harus disyukuri dan dimanfaatkan. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang didengungkan oleh proklamator Soekarno--Hatta ternyata telah mampu berkumandang serta membahana sampai ke seluruh penjuru dunia, terutama negara-negara Sekutu.
Sekutu dengan segera mendaratkan pasukannya di seluruh wilayah Tanah Air. Setiap pendaratan sekutu, berboncengan pula dengan Tentara NICA, dan mengakibatkan pertempuran terjadi dihampir seluruh Nusantara. Keadaan seperti itu pula yang terjadi pada wilayah Timur Indonesia, tepatnya di daerah Kepulauan Kei Maluku Tenggara.
Pertengahan September 1945 pendaratan dilakukan oleh tentara Australia (Sekutu) berboncengan dengan KNIL, penangkapan dilakukan terhadap sisa-sisa anggota "Merah Putih" di Dobo, yang kemudian dibawa ke Ambon. Menyusul pula penangkapan-penangkapan berikutnya, sesuai tuduhan yang diperoleh dari kaki tangan mereka. (Zawawi Ramli: 1988).
Para ulama Islam leluhur Kei pejuang merah putih beberapa mendapat tekanan politik dari lawannya, mereka diintimidasi dan ditekan, bahkan ditahan dan dihukum dan dipenjarakan, sebut saja Ust. H. Mahmud Fakaubun, H. Sayid Ramli Zawawi, Sayid Hasan Zawawi, Sayid Ali Almohdar pada tahun 1946 (Zawawi Ramli, 1988).
Peristiwa-peristiwa silih berganti mereka alami dalam memperjuangkan dan mempertahankan merah putih di bumi Kepuluan Kei-Maluku Tenggara. Zawawi, menjelaskan bahwa tokoh-tokoh agama Islam pejuang kemerdekaan di daerah ini yang antara lain adalah Sayid Abdurahman Asyathry, Idris Renwarin, Sayid A. Alhamid, dan masih banyak lagi. Semangat Merah Putih makin terpatri dengan kokohnya, terutama dalam dada generasi muda tinggal menunggu saatnya untuk mengakhiri kezaliman Belanda beserta antek-anteknya di daerah ini.
Menyadari bahwa kekuatan Umat Islam perlu disatukan dalam sebuah wadah untuk menghindari perjuangan yang terpisah-pisah dan tidak bertanggung jawab, maka oleh Haji Gani Renuat Cs, dibentuklah suatu Organisasi lslam yang diberi nama Persatuan Islam Umum (PIU), muliputi seluruh Kepulauan Kei.
Tercatat bahwa inilah organisasi pertama yang berdiri secara resmi di daerah Maluku Tenggara dan peristiwa tersebut terjadi pada bulan Desember 1946. Selanjutnya Zawawi menjelaskan, pada tanggal 20 Januari 1947, dibentuklah sebuah organisasi perjuangan di Desa Langgiar Fer yang diprakarsai oleh Ust. Achmad Difinubun, Kepala Desa Sungai beserta beberapa orang warga desa sekitar, antara lain Ust. Achmad Fakaubun, Ust. Usman Matdoan, Ust. Muhammad Bin Hatim, Ust. Munawir Matdoan, dan Us.t H. Sayid Ramli Zawawi.
Wilayah kerja organisasi ini terbatas pada daerah Yut Selatan (Kei Besar) sesuai dengan namanya yaitu Persatuan Islam Yut Selatan (PlYS). Dengan terbentuknya organisasi Islam Yut Selatan, merupakan cambuk bagi pemimpin organisasi PIU, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka mendatangkan guru-guru dari Ambon, antara lain: Ust. Habib Abubakar Alaydrus,. Ust. A.K. Liem, Ust. Akhmad Liem, Ust. A. Lestaluhu, H. Amin Elly, dan Ust. Ismail Tangke, yang kesemuanya adalah guru Agama Madrasah.
Sementara itu, diawal tahun 1947, Organisasi PlYS sendiri mendatangkan seorang guru yaitu KH. Jafar Awad Alkatiri dari Ambon. Guru-guru madrasah yang didatangkan itu sebagian besar adalah bekas anggota PIM atau Partai Indonesia Merdeka, maka pendidikan yang mereka ajarkan berimbang antara pendidikan Agama dan Politik.
Dengan demikian, sebagian besar rakyat di daerah ini mulai mengetahui tentang seluk-beluk politik, terutama para pemudanya. Dan dengan semangat juang nasional yang telah diletakkan dasarnya oleh Mr. Slamet Cs, berikut didukung dengan pendidikan politik praktis yang mendalam tentang cita-cita Nasional Bangsa Indonesia dimasa depan, maka kesemuanya itu merupakan modal utama yang sangat berguna bagi masyarakat di Kepulauan Kei terutama pemudanya.
Pada saat itu pengaruh organisasi Islam PIYS sampai ke wilayah Irian Barat. Sesuai penjelasan H. Sayid Ramli Zawawi, dalam suatu pertemuan di rumah Ust. Achmad Difinubun pada tanggal 20 Juli 1948, usai acara Maulid Nabi Muhammad SAW, bahwa Al-Ust. Habib A. Alaydrus dan H. Amin Elly (mantan anggota MPR RI), mendesak dan menganjurkan kepada beliau agar berusaha memberikan pengertian kepada masyarakat Irian Barat terutama menjelang KMB tentang status Irian Barat dewasa ini, sehingga disamping sebagai Kepala Pemerintahan Negeri, beliau juga adalah Ketua PlYS.
Disarankan agar upaya dilakukan melalui jalur pendidikan, jika tidak, maka dengan cara berdagang sebab yang penting, Irian Barat bisa dijangkau, menjelang KMB tentang status Irian Barat, sehingga mereka dapat menyuarakan aspirasinya.
Sebagai langkah awal PIU mengirim dua tenaga guru ke Kaimana untuk selanjutnya mendirikan Madrasah. Berikut upaya Ust. Achmad Difinubun melalui usaha dagang kayu balok. Pada awal September 1948, H. Sayid Ramli Zawawi memimpin 150 orang tenaga kerja berangkat ke Fak-Fak (Irian Barat) dan pada bulan Oktober menyusul gelombang kedua dengan tenaga kerja sebanyak 100 orang. Kemudian pada bulan Desember dalam tahun yang sama sejumlah 150 tenaga kerja tiba di Fak-Fak sebagai rombongan terkahir, sehingga pada waktu itu anggota PIYS yang berupa tenaga kerja yang berada di Fak-Fak dan sekitarnya berjumlah 400 orang.
Menurut Zawawi, (1988). Sehari-harinya kami berusaha membina hubungan dengan masyarakat sekitarnya secara kekeluargaan sehingga ada saling pengertian dan terjalin hubungan yang baik dengan Raja Fatabar Achmad Uswanus dan Ibrahim Bauw Raja Rumbati di Kokas, sehingga banyak manfaat yang di lakukan dengan warga di sana untuk pembebasan Irian Barat.
Selain itu sehubungan dengan undangan dari penyelenggara Kongres Muslimin Indonesia (KMI) yang pertama berlangsung di Yogyakarta, dimana organisasi Islam seluruh Indonesia diikut sertakan termasuk PIU dan PIYS dari Kei Maluku Tenggara. PIU diwakili oleh enam orang masing-masing: Hasyim Rentua, M.K. Renwarin, Sam Hanubun, Patu Dipur, dan dua orang lain lagi. Sedangkan dari PIYS hanya diwakili oleh KH. Jafar Awad Alkatiri awal Desember 1949 ke Yogyakarta malalui Ambon. Kemudian diminta untuk mengirimkan telegram agar PlYS dilebur atau fusi kedalam Masyumi.
Usul tersebut dapat diterima oleh Kongres, sehingga mengirim dua telegram ucapan selamat dari Raja Fatagar dan Raja Rumbati kepada Kongres tersebut, yang isinya berupa harapan, agar nasib Umat Islam di Irian Barat mendapat perhatian Kongres. Ketika telegram itu dibaca, ternyata mendapat tanggapan positif dari Kongres, bahkan dalam pidato pembukaan, hal itu disinggung oleh Bung Karno, dengan mengatakan babwa Belanda seharusnya buka mata, Sidang Kongres Muslimin Indonesia ini dihadiri juga oleh utusan dari Irian Barat, suatu bukti babwa rakyat Irian Barat adalah juga rakyat Indonesia yang tak bisa dipisahkan.dengan sesamanya.
[i][i]*) Doktor Candd. Tenaga Edukatif PMIPA FKIP Upatti-Ambon, (Sebagai bahan diskusi pada Seminar Sejarah Islam di Kepulauan Kei-Maluku Tenggara, yang diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Darurrahman kerjasama dengan Panitia Pelaksana Tablig Akbar Kota Tual, Pondok Pesantren An-Nur Hafiz Qur’an, pada tanggal 29 April—1 Mei 2012, di Kampus STIA Darurrahman Tual).
Sumber:A. PENDAHULUAN
Kapan masuknya agama Islam di Kepulauan Kai, siapa saja Para Ulama yang mula-mula mensyiarkan (menyebarkan) agama Islam, dan di mana tempat mula-mula para Ulama singgah serta bagaimana awal perkembangan Islam? masih merupakan pertanyaan semua orang pemerhati sejarah Islam dan membutuhkan jawaban pasti. Kita butuh sumber data pendukung yang valid serta obyektif, akurat, memiliki bukti-bukti sejarah yang kuat serta ajeg, tidak parsial, diperoleh melalui prosedur kerja ilmiah yang dituntut dalam suatu penelitian yang sifatnya akademis. Sehingga akan diperoleh hasil penelitian sejarah Islam yang baik dan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena hasil penelitian yang baik adalah petunjuk utama penyelesaian masalah sejarah Islam di Kepulauan Kai (Iskandar:2008).
Sumber iformasi yang dibutuhkan berupa hasil penelitian sejarah Islam di Kepualauan Kai sebagai sumber rujukan dan sumber belajar ummat Islam. Karena dengan mempelajari dan mengetahui sejarah dan perjuangan Islam masa lalu kita dapat menata kehidupan kini dan masa datang berlandaskan nilai-nilai historis (historical value) yang tertuang dalam suatu tulisan sejarah Islam.
Munculnya suatu tulisan sejarah Islam di Kai merupakan secercah harapan untuk turut mengisi bingkai lukisan dunia Islam yang maha luas dan abadi, karena tulisan yang nanti Insya Allah terwujud merupakan secuil pengetahuan berharga di antara buku-buku sirah, tarikh, ghazwah, hingga thabaqot yang hampir tak terhitung jumlahnya. Meskipun oleh sebagian kalangan atau orang lain dari tahun ke tahun sekian banyak tulisan-tulisan tentang sejarah Islam sudah banyak bertebaran di mana-mana.
Sehingga kesempatan seperti ini, apapun dan bagaimanapun rona/warna tulisan yang akan dihasilkan, siapapun nara sumbernya dan dari mana asalnya serta bagaimanapun latar belakangnya, harus membuktikan bahwa para leluhur/tetua, ataupun Ulama-ulama Islam Kei terdahulu telah menabur permata-permata bernilai suci-cemerlang (dymond velue) tidak terhingga yang tak pernah lekang, pribadi-pribadi beliau tak pernah kering dan aus, menjadi buah bibir dan sorotan pena serta mata hati orang-orang bijak dari dahulu, kini hingga entah kapan, sampai hari kiamat, Wallahu a’lam Bishowab.(Al-Mubarakfury, S.S.:2007).
Keberadaan Agama Islam di Kepulauan Kai bersamaan dengan kedatangan para leluhur orang Kai di wilayah ini. Ada berbagai versi sejarah yang selama ini berkembang dalam masyarakat muslim Kei, namun semua itu merupakan wahana kekayaan lokal sangat bernilai sebagai modal dasar untuk membantu pemerhati sejarah Islam Kai dalam mewujudkan cita-cita luhur terciptanya suatu penulisan sejarah Islam yang bermutu tinggi.
Masuknya Agama Islam di Kepulauan Kai sangat erat kaitannya dengan datangnya gelombang dan irama perpindahan penduduk ke daerah tersebut. Pada awalnya perpindahan penduduk dari Luang Mabes, Tidore, Ternate, Seram dan Banda Naira, mereka semua telah memeluk agama Islam, namun karena kurang adanya pembinaan keagamaan, serta terkuras oleh waktu dan kondisi sehingga beberapa tempat kehilangan syariat Islam bahkan musnah, dan kembali menyatu dengan keadaan lingkungan yang ateis/anemis namun ada yang tetap mengembangkan syiar Islam.
Penulisan sejarah Islam Kei seperti halnya penelitian sosial lain, maka mengikuti prosedur penelitian kualitatif induktif, sehingga dalam kegiatan ini akan mencoba mengembangkan teori model induksi (Blank Theory and Data Focus), dengan desain kualitatif–verikatif, yaitu data sejarah sebelumnya cukup membantu peneliti untuk memahami data yang akan diteliti. Teori yang ada membantu peneliti membuka misteri data sebenarnya yang tidak diketahui peneliti, namun focus peneliti hanya tertuju pada data sejarah yang ada karena pemahaman terhadap data adalah kunci jawaban terhadap masalah penelitian. Lihat Gambar skema pada Lampiran (Burhan Bungin:2010:25).
Metode dan teknik yang digunakan dalam kegiatan penulisan sejarah Islam Kei ini adalah, Focus Group Discussion (FGD) yaitu teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok. Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan dari suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. FGD juga dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang penulis/peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti. Disamping Metode FGD, digunakan pula langkah-langkah analisis structural Levi-Strauss dalam membantu menganalisis data sejarah yang ada. Teknis penerapan lihat pada Lampiran (Burhan Bungin:2010:223).
B. PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI KEPULAUN KAI
1. BANDA ELI DAN BANDA ELAT
Masyarakat Banda Eli dan Banda Elat adalah penduduk Kai yang berasal dari Banda Naira, mereka meninggalkan Banda Naira karena pertikaian antara masyarakat Banda Naira dengan VOC di bawah pimpinan Yan Piterszoon Coen pada taun 1621. Saat inipun masyarakat tersebut masih tetap mempertahankan Agama Islam, Budaya ( Adat Istiadat ) dan Bahasa Banda Naira. Mereka ini yang memperkuat dan menjadi penerus adat dan budaya Banda Naira (Des Alwi: 2004:11).
2. PULAU KUR
Pulau Kur dengan 11 Desanya mulai dari masuknya penduduk yang beragama Islam sampai sekarang masih ietap mempertahan kan Agama Islam, Adat Istiadat dan Bahasa. Raja pertama Kur adalah seorang keturunan Arab yang bernama Muhammad dan nama Kerajaannya adalah Makara.
3. KEPULAUAN TAYANDO (DESA OHOITON)
Masuknya Agama Islarn di Tayando untuk pertama kali dibawa oleh Marungun Banyal pada tahun 1550 dari Langgiar Fer setelah itu di susul oleh tiga orang mubaligh yaitu Tawakaluddin, Tafakadin dan Safakadin dari Banda Naira melalui Kur ke Desa Langgiar Fer baru kemudian kembali ke Tayando. (Mahmud, M. 2001).
4. DESA DULLAH
Agama Islam untuk pertama kali di bawa oleh Sultan Tahiruddin dari Kesultanan Jailolo Maluku Utara pada tahun 1591 ke Desa Dullah. Namun putusnya hubungan da'wah telah menimbulkan hilangnya syariat Islam di sana dan akhirnya mereka kembali menyatu dengan kepercayaan leluhurnya.
Pada masa pemerintahan Raja Daung Val beliau mengadakan hubungan dengan Kerajaan Langgiar Fer lalu beliau menyatakan masuk Islam dan kemudian kembali ke Desa Dullah untuk dimandikan bersama masyarakatnya secara Islam. (Mahmud, M. 2001).
5. DESA LANGGIAR FER
a) Permulaan Masuknya Islam
Menurut Matdoan M. (2001), sampai saat ini sejarah masuknya agama Islam di Desa Langgiar Fer masih tetap merupakan penuturan lisan yang dituturkan dari mulut ke mulut, dari satu generasi ke generasi berikut tanpa didukung dengan data otentik. Sehingga perlu diadakan penelitian terus menerus serta mempelajari literatur dan peninggalan sejarah untuk mendapatkan hasil sejarah Islam yang bermanfaat.
Jalur masuknya Agama Islam di desa Langgiar Fer melalui Aceh, Banda, Kur dan Tayando, namun Kur dan Tayando hanya merupakan tempat persinggahan saja. Pembawanya adalah Datuk Abdullah bin Abdul Muthholib bin Abu Bakar bin Hasyim dari Magribi (Maroko).
Menurut Ahmad Fakaubun bahwa ayah Datuk Abdullah bernama Abdul Mutholib, lahir Banda Naira sedangkan Neneknya adalah tawanan Portugis dalam peperangan dengan Sultan Johar pada tahun 1511 yang pada waktu itu di buang ke Banda Naira.
Kedua pendapat tersebut setelah di teliti ada suatu kejanggalan yang sangat mencolok yaitu: cerita perjalanan mereka ditemukan bahwa Datuk Abdullah lahir di Banda Naira dan cucunya yang bernama Sarkol kawin dengan anak perempuan dari Raja Sawe di Kilmas Kur. Dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang putera yang bernama Farne Vul, setelah dewasa ia pindah ke Desa Dullah lalu kawin dan memperoleh dua orang putera yaitu Arba Huren pindah ke Desa Larat kemudian kawin dengan Sikremin dan Mel Ren pindah ke Desa Taar.
Dari hasil penemuan di atas maka dapatlah dipastikan babwa yang datang ke Desa Langgiar Fer adalah keturunan Datuk Abbdullah yang bernama Arba Huren dan diperkirakan tiba di Tenan Savav pada tahun 1661.
Hubungan antara Kepulauan Kai dengan Pulau-pulau Banda Naira sudah berlangsung sebelum datangnya VOC di Banda Naira. Terjadinya pertikaian antara VOC dengan rakyat Banda Naira pada tahun 1602 menyebabkan sebahagian dari pemuka-pemuka Agama berangkat meninggalkan Banda Naira menuju Kepulauan Kai, untuk pertama kalinya mereka tiba di Desa Ngilngof.
Beberapa waktu kemudian keluarga Seknun, Rumkel dan Rumaf dibawah pimpinan Datuk Abdullah Seknun pada tahun 1605 yang merupakan turunan Datuk Maulana pindah menetap di Desa Fer bersama anaknya yang tertua bernama Muhammad Ali Fatha yang kemudian diangkat menjadi Imam pertama di Desa Fer, Beliau meninggal pada tahun 1617 M/1026 H, makam di Fer-Langgiar.
Keluarga Rumaf menjadi Imam di Desa Mastur dan keluarga Rumkel beserta sebagian keluarga Rumaf berangkat ke Tayando, setelah mereka tiba di Tayando diangkat menjadi Imam. Keluarga Rumkel diangkat menjadi Imam di Desa Meo Langgiar, pengangkatan Imam tersebut. ditandai dengan 1 kati emas sehingga marga Rumkel berubah nama menjadi Katmas.(Mahmud.M. 2003).
Tamaslu Seknun anak dari Datuk Abdullah diangkat menjadi Imam di Ohuikurun (Desa Langgiar Fer sekarang) dan dari sinilah Agama Islam mulai berkembang dan melembaga di Desa Langgiar Fer yang kemudian berkembang menjadi pusat pengembangan Agama Islam di kepulauan Kai pada akhir abad ke 18 (1704 M/1124 H) dimasa pemerintahan Bal Tub Vuar (Muhammmad Baluddin Matdoan). Beliau mengajarkan ilmu akidah dan ilmu tasawuf kepada masyarakat sehingga beliau terkenal sangat alim.
Riwayat lain mengisahkan bahwa, agama Islam di Desa Langgiar-Fer untuk pertama kali dibawa oleh Muhammad Muqis (Ubtim Matdoan) pada abad 11 atau 12 Masehi, anak dari Sultan Muhammad Isa dari Kota Basra yang dikenal di daerah Luang Maubessy beliau diperkirakan tiba di sana pada tahun 1136 (wilayah ter Selatan Maluku, sekarang menjadi Kabupaten Maluku Barat Daya) dengan sebutan Raja Melayu karena beliau datang ke Pulau Luang melalui Kerajaan Melayu, dan agama Islam berkembang pesat di Kepulauan Kai pada generasi ketujuh yaitu saat berkuasa Larat Matdoan (1536). Suntuk ini dapat ditelusuri riwayat sejarah beberapa Kerajaan Islam di Kepulauan Kei, Aru, Irian dan Pulau Ambon (Leihitu—Seit, Negeri Lima dll.).
6. DESA MATWEAR
Menurut sejarah yang diakui masyarakat bahwa Raja Kerajaan Matwear yang pertama bernama Hasan Maqbir Bidian berasal dari Kesultanan Adonara dan pusat kerajaannya adalah Desa Matwear sekarang. Raja Hasan Maqbir tidak mempunyai anak laki- laki untuk menggantikan tahta kerajaan sehingga tahta kerajaan dijabat kembali oleh Un El Renfan. Dilihat dari silsilah perkawinan Raja Hasan Maqbir dengan Dit Nangan anak dari Tebtut Ohoi Vuur diperkirakan beliau datang ke desa Matwear pada akhir abad ke 17 Masehi. Kehidupan beragama masyarakat sepeninggal Raja Hasan Maqbir adalah bahwa sebagian rakyat Matwear masih menganut Agama Islam, sebagian lagi beralih memeluk Agama Kristen Protestan (Mahmud, M. 2001).
C. SELAYANG PANDANG SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DAN PERKEMBANGAN QURRA WAL HUFFAZ AL-QUR'ANUL KARIM DI LANGGIAR-FER
Para orang tua, leluhur masayarakat Kei khusus di Desa Langgiar Fer, Ngafan, Sungai-Hoat mengharapkan anak cucu mereka kiranya menjadi generasi yang dapat mengenal membaca dan memahami Al-Qur'an secara baik dan benar, sesuai dengan kehendak agama Islam. Harapan dan keinginan ini tidak mudah untuk diraih begitu saja, karena di hadapan mereka ada hambatan dan tantangan yang cukup berat.
Secara geografis, sosial ekonomi serta budaya, tidak mendukung- karena wilayah kepulauan Kei terletak diujung timur Kepulauan Indonesia. Pada saat itu (abad ke 16) masih terisolasi dengan segala kemajuan dan perkembangan, tertutup untuk semua informasi, masalah teknologi serta komunikasi. Masyarakat masih mengandalkan hidup secara tradisional, berkebun, bertani, ke laut menangkap ikan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Hidup di wilayah terpencil dan tertutup untuk semua informasi dan perkembangan dari luar, tidak membuat pupus semangat juang dan cinta mereka terhadap Allah, Rasul serta Islam. Dengan tantangan hidup yang berat, mereka berusaha dengan semangat yang tinggi untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan mengaji Al-Qur'an.
Perjalanan para ulama Kei ke Haramain melalui rute yang sangat panjang dan memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-bertahun. Dari Kei menggunakan perahu layar melalui Sulawesi, Jawa, terus ke Singapura dan Malaysia kemudian dengan kapal laut menuju tanah suci Mekkah. Ada beberapa orang yang tidak kembali ke Kei, karena wafat di Mekkah--Madina--Saudi Arabia, bahkan dalam perjalanan.
Beberapa generasi sudah pulang pergi ke Mekkah menjelang abad 17, disamping belajar ngaji dan tafsir Al-Qur'an ada yang mendalami disiplin ilmu tasauf, figih dan ilmu kalam, serta disiplin ilmu agama lainnya. Mereka bermukim selama bertahun-tahun di Mekkah untuk belajar dan mengaji Qur'an dan mendalami Islam.
Mereka kembali ke Kei dengan meguasai Al-Qur’an dan ilmu agama dalam bidang masing-masing, kemudian mengajarkan ilmu kepada masyarakat muslim di sana. Semangat kehidupan yang mereka bina pada saat itu sangat bernuansa keislaman khusus di seluruh wilayah Kepulauan Kei (Maluku Tenggara), bahkan hampir seluruh wilayah Maluku (Seram Bagian Timur) dan Irian Barat (terutama daerah Fak-Fak, Kaimana dan sekitarnya). Keimanan masyarakat Kei terhadap Islam terjadi bersamaan dengan penyebaran Islam di wilayah lain Indonesia/Melayu (pada pertengaban abad 15 awal abad 16).(Republika, 25 Juli 2003).
Menjelang akhir abad 18 telah terjadi kebangkitan para ulama di Maluku. Bukan hanya ditandai dengan berkembangnya tradisi pengetahuan Islam tetapi juga penyebaran gerakan pembaruan Islam di wilayah Maluku dan Irian Jaya. Menurut hikayat para ulama Kei memiliki hubungan leluhur dari, Johor, Malaysia, dan Bugis Makassar. Mereka memiliki hubungan kekerabatan dengan para ulama pensyiar Islam dari Timur Tengah.
Versi yang jelas serta data autentik mengenai asal-usul para ulama Kei belum ada referensi pendukung, hanya berdasarkan penuturan lisan turun temurun. Hal ini menuntut kajian historis serta penelusuran sejarah sehingga ada kepastian data yang digunakan sebagi referensi dalam membahas sejarah penyebaran Islam di wilayah Kei Maluku Tenggara.
Menurut data yang diperoleh dan sepanjang catatan terkumpul, dinyatakan babwa Islam pertama kali di Kepulauan Kei yaitu di Desa Langgiar pada tahun 1511 M, dibawa oleh seorang ulama keturunan Sayid dari daerah Hadhramut (setelah pecahnya daulah Fatimiyah). Nama beliau adalah Sayid Abdullah, datang melalui wilayah Gujarat, Johor dan masuk ke Langgiar pada saat Portugis merebut Malaka dalam menjalankan politik penjajahan, kemudian menyusul datuk Maulana ke Tayando Kei Kecil (lihat Silsilah terlampir). Selain bukti sejarah para leluhur yang berasal dari Luang Maubesy (Pulau-pulau Terselatan), jauh-jauh hari atau berabad-abad lamanya mereka sudah mendiami Kepulauan Kei dugaan yang memperkuat pemahaman bahwa, dari generasi ke generasi para leluhur dari Luang tidak ada riwayat bahwa siapa yang meng-Islamkan mereka.
Pada abad 16 atas prakarsa kepemimpinan dan kesepakatan adat (Mel Yam Fak) empat leluhur atau pemuka masyarakat Langgiar Fadir, Fako, Wadufin dan Larat Matdoan menyepakati suatu ikrar atau stateman suci atas dasar syariat Islam, dengan upacara sakral di Desa Langgiar Fer, dengan memberi nama (Wama Sirken), Wama = tempat; Sir = rahasia; Ken = Kebenaran, artinya tempat rahasia kebenaran.
Kemudian syariat Islam dapat menyebar ke seluruh Kepulauan Kei dan sekitarnya, disusul pula dengan datangnya para ulama seperti; 1) Abdurrahman Bilawa dari Bone pada tahun 1786; 2) Sayid Ahmad bin Muhammad Al Idrus dari Timur Tengah, singgah di Cirebon, pada tahun 1809, meninggal dan makam di Desa Nagafan, 3) Datuk Abdurrabbi dari Johor Malaysia--Minangkabau pada tahun 1611, nikah di Langgiar Fer dan beranak pinak, setelah itu kembali ke Minangkabau, 4) Sayid Abdurrahman Assyatri pada tahun 1813, mukim di Langgiar dan punya anak cucu sampai saat ini, makam di Langgiar 4) Sayid Muhammad Zawawi, pada abad 18, nikah dan punya anak cucu, wafat dan makam di Desa Ler Ohoilim 5) H. Sirajuddin Karaeng Magangka dari Sulawesi Selatan pada paruh kedua abad 18, nikah punya anak cucu; wafat dan makam di Makassar.
Generasi pertama yang pergi ke tanah Haramain adalah Haji Muhammad Arif Fakaubun pada tahun 1816, ini adalah misi pertama untuk mempelajari dan menghafal Al Qur'an di Mekkah (lihat Tabel pada Lampiran 1).
Terjalin keakraban lahir batin dan silaturrahmi antara guru dan murid (di Mekkah dan Langgiar) sehingga saling kunjung mengunjung. Mereka tetap menjalin komunikasi dan silaturrahmi dengan Tuan-Tuan Guru (Syeikh) mereka di Mekkah. Hingga pada suatu saat datang berkunjung ke desa Langgiar dua ulama besar dari Mekkah pada tahun 1865, yaitu Al Mukarrom Hadratus Syekh Al Haji Hamzah Sombul (penguasa Masjidil Haram Mekkah dan Al Mukarrom Hadratus Syeik Al Haji Habib Muhammad bin Abdul Mu'ti Mirdadi (Hatib dan Imam Besar Masjidil Haram Mekkah).
Dengan rasa haru bertambah suka cita yang dalam menyambut kedua tamu yang mulia ada keinginan lagi untuk terus menyambung tali silaturrahmi dan komunikasi yang selama ini sudah terjalin baik, hingga suatu saat dalam satu pertemuan dengan para tamu guru besar mereka timbul pertanyan menarik. Bagaimana kami dapat mengaji Al-Qur'an seperti orang-orang Mekkah?
Sehingga pada usia sembilan tahun Abdul Karim Rahannyaan kecil dari desa Ngafan Kei Besar berangkat ke Mekkah untuk belajar mengaji Al-Qur'an pada tahun 1830 selama kurang lebib 35 tahun beliau bermukim dan belajar nagji Al-Qura'an sampai mencapai usia 44 tahun di Mekkah.
Turan Ngur Leb Lor (julukan masyarakat muslim Kei kepada tuan guru Haji Abdul Karim Rahannyaan). Beliau kembali ke kampung halaman (Langgiar Fer) pada tahun 1874 dan mengajarkan serta menghafal Al-Qur'an atau yang lazim di sebut Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim selama kurang lebih 10 tahun.
Beliau adalah generasi ketiga yang meletakkan sejarah bagi generasi-generasi berikutnya mengenai Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim di Kepulaun Kei. Setelah termotifasi dengan semangat beliau yang berhasil mengaji dan menghafal Al Qur'an sebagaimana masyarakat Mekkah sehingga orang kampung ingin seperti beliau. Keinginan mereka agar dapat mengikuti jejak beliau untuk mengaji dan menghafal Al-Qur'an di tempat asal turunnya Al Qur'anul Karim yaitu Kota Mekkah tempat lahirnya Nabi Muhammad Saw, dan Alhamdulillah niat suci itu terwujud di tempat yang diberkahi Mekkah) di antaranya Tuan Guru Al-Mukarrom Haji Muhammad Said Rahannyamtel, Al-Haji Abbas Rahannyaan, Al-Haji Muhammad Yahya Matdoan, dengan bermodalkan niat suci walaupun penuh derita, sebelum perang dunia pertama (pada tahun 1901) ke Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji--rukun Islam kelima.
Sebelum itu Al-Haji Muhammad Syekh Fakaubun beliau mendalami ilmu hukum Islam, dan Al-Haji Baharuddin Matdoan tahun 1775, mukim di Mekkah selama puluhan tahun (kurang lebih 16 tahun) mendalami ilmu tasauf, yang kemudian menyusul pula Al-Haji Muhammad Zein Matdoan pakar tasauf, mengikuti jejak beliau sekitar akhir abad 17—18, mukim di Mekkah 5 tahun.
Selama kurang lebih 15 tahun menekuni Al-Qur'an maka pada tahun 1916 mereka kembali ke kampung halaman (Langgiar Fer) Insya Allah dengan menyandang haji mabrur artinya haji dan amalan mereka mendapat ridho Allah. Setiba mereka di kampung halaman dengan semangat pengamalan Al-Qur'an sehingga mereka mendapat gelar dari masyarakat Islam Kei saat itu dengan gelar Yaman Teen dan Leeb Lor karena menjadi imam besar di masjid-masjid serta Turan ngur atau guru ngaji, mereka ini termasuk kelompok generasi ke lima (pada tahun 1905--1920). Periode ini hubungan baik para leluhur dengan ulama di Mekkah-Madina terjalin erat dan sangat baik, karena masih ada kunjung-mengunjung antara guru dan murid. Bukti kedatangan Tuan Sayid/Habib Abdul Hamid bin Muhammad bin Abdul Muthi Al Mirdadi ke Langgiar Fer (Kei) tahun 1902, (lihat Foto Dokumentasi pada Lampiran).
Pada era generasi ini pembinaan Qurra wal Huffaz Al-Qur'anul Karim semakin berkembang baik karena selain desa Langgiar Fer, Sungai--Ngafan bertambah lagi desa baru yaitu Larat. Para siswa bertambah banyak dan dapat dilokalisir berdasarkan wilayah pemukiman. Para ulama inilah yang mendorong didirikan lembaga-lembaga pendidikan tradisonal seperti yang dikenal di wilayah lain di Indonesia/Melayu sebagai pondok pesantren. Dengan sarana tempat belajar seadanya para guru/turan ngur leb dengan kesederhanaan mereka, tabah dan tekun mengajar ngaji mulai dari mengenal huruf hingga lancar membaca Al-Qur'an, kemudian mengajarkan tentang makhraj dan tajwid sampai khatam dan hafal, semuanya dilakukan dengan rasa ikhlas karena Allah Ta'ala.
Termotivasi dengan sikap mereka maka masyarakat Kei pencinta Al-Qur'an tertarik untuk belajar pada Turan ngur/Leb lor di Kei dan tidak harus datang ke Mekkah untuk belajar ngaji dan menghafal Al-Qur'an di sana. Bila kemampuan membaca dan menghafal Al-Qur'an sudah baik, kemudian berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji rukun Islam yang kelima,
Pada awal kemerdekaan datang pula para ulama/ustaz dari Ambon ke Langgiar Fer, Sungai--Nagafan, di antaranya adalah Al Mukarrom H. Sayid Abubakar Alidrus, ahli bahasa Arab, nahu syaraf, dan tasauf (terakhir sebagai Kakanwil Departemen Agama Propinsi Maluku di Ambon tahun 1970an), dan Almukarrom KH. Djafar Awad Alkatiri (ahli bahasa Arab, tafsir, terakhir sebagai Penasehat DPW NU Wilayah Maluku dan DPP, anggota DPRD Propinsi Maluku tahun 1980an) mereka mukim di Kei sejak tahun lima puluhan sampai dengan akhir tahun enam puluhan. Setelah itu mereka pulang--pergi Ambon dan Kei. Para ulama ini sudah mengembangkan pembelajaran secara klasikal, dan pendidikan madrasah yang diberikan nama musthonmallimin (mencetak kader-kader ulama yang sudah moderat).
Perkembangan pencerahan Islam semakin semarak hampir di seluruh Maluku. Kader-kader yang dihasilkan pada masa ualama-ulama ini antara lain ; 1) Al-ustaz H. Muhammad Muzni Matdoan, beliau imam masjid Kiom Tual, guru ngaji, sampai akhir hayat sebagai penasehat senior DPD PPP Kabupaten Maluku Tenggara. 2) Al-ustaz H. Usman Rahannyaan, guru ngaji, imam masjid dan guru madrasah, 3) Ustaz H. Muhammad Asnawi Seknun, guru ngaji, imam masjid Kehutanan Tual dan Fer. 4). H. Munawir Matdoan, guru ngaji, guru tasauf, 5) Ustaz H. Abdul Wahid Rahawarin S.H. guru tasauf, terakhir sebagai Ketua DPRD Kota Madya Ambon periode 1989--1997), 6) Al-ustaz Ahmad Difinubun, guru tasauf, Kepala Desa Hoat/Sungai. 7).H. Abubakar Matdoan, guru ngaji, guru tasauf, 8) Abidin Difinubun, guru ngaji dll. 9). Sayid Abubakar Al-Atthas wafat tahun 1998 di Hitu.
Bersamaan dengan itu muncul pula para pejuang Islam lebih moderat seperti; 1) H. Sayid Ramli Zawawi, pensiunan pegawai Departemen Penerangan RI, tokoh Masyumi tahun 1950an, terakhir anggota DPRD Propinsi Maluku dari fraksi PPP, wafat, tahun 2001 di Ambon, wafat di Ambon tahun 2000 2) H. Abdul Mu'thi Fakaubun, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten Maluku Tenggara, tokoh Masyumi tahun 1950an dan wafat tahun 2009 di Tual 3). H. Ahmad Fakaubun, pensiunan pegawai Departeman Agama Propinsi Maluku, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten Maluku Tenggara, 4) Usman Matdoan, pensiunan pegawai Departemen Penerangan Propinsi Maluku, pernah sebagai anggota DPD Kabupaten Maluku Tenggara, salah satu tokoh kunci dalam pembebasan wilayah Maluku Tenggara dari cengkerman colonial Belanda dan para musuh NKRI pada awal kemerdekaan RI.
Perjuangan syiar mereka sudah disalurkan melalui birokrasi dan pemerintahan, bentuk dakwah mereka adalah bil- hal.
Sampai saat ini kader-kader ulama Kei belum dapat di data semua secara lengkap, karena anak cucu leluhur Kei banyak bertebaran di seluruh wilayah Indonesia. Dapat disebutkan sebagai contoh beberapa cendekiawan muda muslim, anak cucu dan penerus cita-cita luhur para Ulama leluhur Langgiar Fer, Kei Maluku Tenggara, seperti; 1) Ir. H. Sayid Sayuti Asyatri, pakar tasauf, pemikir dan perencana pembangunan, mantan wakil sekertaris Presiden periode Presiden Abdurrahman Wahid, mantan penasehat senior DPP PAN dan Anggota DPR RI, Wakil Ketua Fraksi bidang Otonomi Daerah periode 2004—2008. Sekarang Presiden/Ketua Umum Partai Demokrasi Kebangsaan.
Ustaz Sayuti Rahawarin mantan anggota DPR RI, aktifis da'wah, mantan Sekjen Partai Islam Indonesia Masyumi, 3) Ustaz Ahmad Barji Matdoan. guru ngaji, aktifis da wah, mantan/pendiri Pemuda Pelaksana Da’wah Islamiah Maluku Tahun 1970an- sampai sekarang, 4) Drs. H. Hanafi Renhoran, M.M., pensiunan pegawai Departemen Agama Pusat, aktivis da'wah 5) Drs. H. Abbas Rahannyamtel, rnantan Kakandep Agama Kabupaten Maluku Tenggara, Kabid Urusan Haji Depag Propinsi Maluku. 6) Drs. H. Muhammaddin Rahannyamtel, Pensiunan Kepala Sekolah MAN di Jakarta, aktifis da'wah, 7) Drs. Hasan Rahakbau, aktifis da'wah, pensiunan guru MAN di Jakarta, 8) Ustaz Muhammad Qosim Matdoan, hafiz, guru ngaji dan guru agama di Jakarta, aktifis da'wah, 9) Ustaz Muhammad Rahanyamtel, S.Ag, M.Pdi. hafiz, dosen IAIN Ambon, guru ngaji, da’i, dan masih banyak yang perlu diadakan pendataan dan penelitian agar dapat diungkapkan dalam bentuk tulisan dan referensi untuk kepentingan da'wah dan pemerhati sejarah pergerakan Islam di Nusantara.
Selengkapnya perkembangan syiar Islam dan Qurra wal Huffaz Al-Qur anul Karim di Kepulauan Kei dari generasi ke genarasi dapat dilihat pada Tabel (Lampiran 1).
Generasi kesepuluh mengalami pasang surut sangat drastis dan kemunduran yang pesat, ini disebabkan karena kendala yang dihadapi dari generasi ke generasi, seperti kurangnya perhatian pemerintah, keterbatasan fasilitas pembelajaran, rendahnya kesejahteran tuan-tuan guru, juga karena terjadi konflik sara (tahun 1999), sehingga membawa korban jiwa, harta benda, dan kerugian moral dan material sangat banyak..
Saat ini kondisi Qurra-Walhuffaz masih berjalan secara konvensional, belum ditata dengan manajemen yang baik, sehingga diharapkan perhatian semua kalangan ummat Islam untuk membangun dan membangkitkan kembali semangat ummat dalam mempelajari dan menghayati serta mengamalkan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dunia wal-akhirah.
D. SEKILAS PERAN ULAMA DAN PERGERAKAN ISLAM AWAL KEMERDEKAAN DI KEPULAUAN KEI MALUKU TENGGARA
Ketika terjadi kekosongan kekuasaan pemerintahan di Indonesia pada akhir perang dunia II, oleh Bangsa Indonesia dianggap sebagai suatu rakhmat yang harus disyukuri dan dimanfaatkan. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang didengungkan oleh proklamator Soekarno--Hatta ternyata telah mampu berkumandang serta membahana sampai ke seluruh penjuru dunia, terutama negara-negara Sekutu.
Sekutu dengan segera mendaratkan pasukannya di seluruh wilayah Tanah Air. Setiap pendaratan sekutu, berboncengan pula dengan Tentara NICA, dan mengakibatkan pertempuran terjadi dihampir seluruh Nusantara. Keadaan seperti itu pula yang terjadi pada wilayah Timur Indonesia, tepatnya di daerah Kepulauan Kei Maluku Tenggara.
Pertengahan September 1945 pendaratan dilakukan oleh tentara Australia (Sekutu) berboncengan dengan KNIL, penangkapan dilakukan terhadap sisa-sisa anggota "Merah Putih" di Dobo, yang kemudian dibawa ke Ambon. Menyusul pula penangkapan-penangkapan berikutnya, sesuai tuduhan yang diperoleh dari kaki tangan mereka. (Zawawi Ramli: 1988).
Para ulama Islam leluhur Kei pejuang merah putih beberapa mendapat tekanan politik dari lawannya, mereka diintimidasi dan ditekan, bahkan ditahan dan dihukum dan dipenjarakan, sebut saja Ust. H. Mahmud Fakaubun, H. Sayid Ramli Zawawi, Sayid Hasan Zawawi, Sayid Ali Almohdar pada tahun 1946 (Zawawi Ramli, 1988).
Peristiwa-peristiwa silih berganti mereka alami dalam memperjuangkan dan mempertahankan merah putih di bumi Kepuluan Kei-Maluku Tenggara. Zawawi, menjelaskan bahwa tokoh-tokoh agama Islam pejuang kemerdekaan di daerah ini yang antara lain adalah Sayid Abdurahman Asyathry, Idris Renwarin, Sayid A. Alhamid, dan masih banyak lagi. Semangat Merah Putih makin terpatri dengan kokohnya, terutama dalam dada generasi muda tinggal menunggu saatnya untuk mengakhiri kezaliman Belanda beserta antek-anteknya di daerah ini.
Menyadari bahwa kekuatan Umat Islam perlu disatukan dalam sebuah wadah untuk menghindari perjuangan yang terpisah-pisah dan tidak bertanggung jawab, maka oleh Haji Gani Renuat Cs, dibentuklah suatu Organisasi lslam yang diberi nama Persatuan Islam Umum (PIU), muliputi seluruh Kepulauan Kei.
Tercatat bahwa inilah organisasi pertama yang berdiri secara resmi di daerah Maluku Tenggara dan peristiwa tersebut terjadi pada bulan Desember 1946. Selanjutnya Zawawi menjelaskan, pada tanggal 20 Januari 1947, dibentuklah sebuah organisasi perjuangan di Desa Langgiar Fer yang diprakarsai oleh Ust. Achmad Difinubun, Kepala Desa Sungai beserta beberapa orang warga desa sekitar, antara lain Ust. Achmad Fakaubun, Ust. Usman Matdoan, Ust. Muhammad Bin Hatim, Ust. Munawir Matdoan, dan Us.t H. Sayid Ramli Zawawi.
Wilayah kerja organisasi ini terbatas pada daerah Yut Selatan (Kei Besar) sesuai dengan namanya yaitu Persatuan Islam Yut Selatan (PlYS). Dengan terbentuknya organisasi Islam Yut Selatan, merupakan cambuk bagi pemimpin organisasi PIU, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka mendatangkan guru-guru dari Ambon, antara lain: Ust. Habib Abubakar Alaydrus,. Ust. A.K. Liem, Ust. Akhmad Liem, Ust. A. Lestaluhu, H. Amin Elly, dan Ust. Ismail Tangke, yang kesemuanya adalah guru Agama Madrasah.
Sementara itu, diawal tahun 1947, Organisasi PlYS sendiri mendatangkan seorang guru yaitu KH. Jafar Awad Alkatiri dari Ambon. Guru-guru madrasah yang didatangkan itu sebagian besar adalah bekas anggota PIM atau Partai Indonesia Merdeka, maka pendidikan yang mereka ajarkan berimbang antara pendidikan Agama dan Politik.
Dengan demikian, sebagian besar rakyat di daerah ini mulai mengetahui tentang seluk-beluk politik, terutama para pemudanya. Dan dengan semangat juang nasional yang telah diletakkan dasarnya oleh Mr. Slamet Cs, berikut didukung dengan pendidikan politik praktis yang mendalam tentang cita-cita Nasional Bangsa Indonesia dimasa depan, maka kesemuanya itu merupakan modal utama yang sangat berguna bagi masyarakat di Kepulauan Kei terutama pemudanya.
Pada saat itu pengaruh organisasi Islam PIYS sampai ke wilayah Irian Barat. Sesuai penjelasan H. Sayid Ramli Zawawi, dalam suatu pertemuan di rumah Ust. Achmad Difinubun pada tanggal 20 Juli 1948, usai acara Maulid Nabi Muhammad SAW, bahwa Al-Ust. Habib A. Alaydrus dan H. Amin Elly (mantan anggota MPR RI), mendesak dan menganjurkan kepada beliau agar berusaha memberikan pengertian kepada masyarakat Irian Barat terutama menjelang KMB tentang status Irian Barat dewasa ini, sehingga disamping sebagai Kepala Pemerintahan Negeri, beliau juga adalah Ketua PlYS.
Disarankan agar upaya dilakukan melalui jalur pendidikan, jika tidak, maka dengan cara berdagang sebab yang penting, Irian Barat bisa dijangkau, menjelang KMB tentang status Irian Barat, sehingga mereka dapat menyuarakan aspirasinya.
Sebagai langkah awal PIU mengirim dua tenaga guru ke Kaimana untuk selanjutnya mendirikan Madrasah. Berikut upaya Ust. Achmad Difinubun melalui usaha dagang kayu balok. Pada awal September 1948, H. Sayid Ramli Zawawi memimpin 150 orang tenaga kerja berangkat ke Fak-Fak (Irian Barat) dan pada bulan Oktober menyusul gelombang kedua dengan tenaga kerja sebanyak 100 orang. Kemudian pada bulan Desember dalam tahun yang sama sejumlah 150 tenaga kerja tiba di Fak-Fak sebagai rombongan terkahir, sehingga pada waktu itu anggota PIYS yang berupa tenaga kerja yang berada di Fak-Fak dan sekitarnya berjumlah 400 orang.
Menurut Zawawi, (1988). Sehari-harinya kami berusaha membina hubungan dengan masyarakat sekitarnya secara kekeluargaan sehingga ada saling pengertian dan terjalin hubungan yang baik dengan Raja Fatabar Achmad Uswanus dan Ibrahim Bauw Raja Rumbati di Kokas, sehingga banyak manfaat yang di lakukan dengan warga di sana untuk pembebasan Irian Barat.
Selain itu sehubungan dengan undangan dari penyelenggara Kongres Muslimin Indonesia (KMI) yang pertama berlangsung di Yogyakarta, dimana organisasi Islam seluruh Indonesia diikut sertakan termasuk PIU dan PIYS dari Kei Maluku Tenggara. PIU diwakili oleh enam orang masing-masing: Hasyim Rentua, M.K. Renwarin, Sam Hanubun, Patu Dipur, dan dua orang lain lagi. Sedangkan dari PIYS hanya diwakili oleh KH. Jafar Awad Alkatiri awal Desember 1949 ke Yogyakarta malalui Ambon. Kemudian diminta untuk mengirimkan telegram agar PlYS dilebur atau fusi kedalam Masyumi.
Usul tersebut dapat diterima oleh Kongres, sehingga mengirim dua telegram ucapan selamat dari Raja Fatagar dan Raja Rumbati kepada Kongres tersebut, yang isinya berupa harapan, agar nasib Umat Islam di Irian Barat mendapat perhatian Kongres. Ketika telegram itu dibaca, ternyata mendapat tanggapan positif dari Kongres, bahkan dalam pidato pembukaan, hal itu disinggung oleh Bung Karno, dengan mengatakan babwa Belanda seharusnya buka mata, Sidang Kongres Muslimin Indonesia ini dihadiri juga oleh utusan dari Irian Barat, suatu bukti babwa rakyat Irian Barat adalah juga rakyat Indonesia yang tak bisa dipisahkan.dengan sesamanya.
[i][i]*) Doktor Candd. Tenaga Edukatif PMIPA FKIP Upatti-Ambon, (Sebagai bahan diskusi pada Seminar Sejarah Islam di Kepulauan Kei-Maluku Tenggara, yang diselenggarakan oleh Yayasan Pendidikan Darurrahman kerjasama dengan Panitia Pelaksana Tablig Akbar Kota Tual, Pondok Pesantren An-Nur Hafiz Qur’an, pada tanggal 29 April—1 Mei 2012, di Kampus STIA Darurrahman Tual).
Sumber:http://blogmudaku.blogspot.com/2012/06/sejarah-islam-di-kepulauan-kei-maluku.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar